Dalam tahun awal berdirinya Republik Indonesia, istilah DPRD
Provinsi Jawa Barat belum digunakan. Meski demikian, hal ini tidak
berarti bahwa tidak terdapat lembaga legislatif semacam DPRD. Pada tahun awal
kemerdekaan lembaga semacam DPRD ini sesungguhnya telah juga hadir dengan nama
Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD) Jawa Barat. Karena itu asal-usul dari
kehadiran DPRD Provinsi Jawa Barat tidak dapat dipisahkan dari kehadiran BPRD
Jawa Barat tersebut. Pada masa itu, BPRD dipimpin oleh R. Otto Iskandardinata
dengan wakilnya Dr. Soeratman Erwin dan Mr. Samsudin.
Selanjutnya, pada masa transisi setelah kembalinya status
Republik Indonesia Serikat ke dalam NKRI, di Jawa Barat dibentuk DPRD Sementara
yang terdiri dari 60 orang anggota yang berasal dari 22 Parpol dan dipimpin
oleh Djaja Rahmat (1950-1955).
Istilah DPRD Provinsi Jawa Barat baru dikenal pada tahun
1955 yaitu setelah Pemilihan Umum Pertama yang dilakukan pada 29 September
1955. Sebagai tindaklanjut dari upaya untuk mewujudkan DPRD atas dasar pemilihan
itu, pemerintah mengeluarkan UU No. 19/1956 yang merupakan ketentuan
hukum pemilihan daerah. Setahun kemudian, untuk pertama kali dalam sejarah
perkembangannya, diadakan pemilihan terhadap anggota DPRD Jawa Barat. Pada
kurun waktu 1957-1960 jumlah anggota DPRD Jawa Barat sebanyak 75 orang yang
berasal dari 14 Parpol dan diketuai oleh Oja Somantri.
Pada masa yang dikenal dengan Orde Lama sampai dengan 1974,
Undang-undang yang menjadi landasan bagi kehadiran DPRD Jawa Barat adalah UU
No. 18/1965, dan salah satu pasalnya memasung eksistensi DPRD yakni DPRD dalam
menjalankan tugasnya bertanggungjawab kepada Kepala Daerah. Selain itu, dalam
UU ini juga disebutkan, bahwa keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh DPRD
harus mendapatkan tandatangan dari Kepala Daerah. Ini berarti kedudukan DPRD di
bawah Kepala Daerah. Ketentuan hukum yang terdapat dalam UU No. 18/1965
mengakibatkan kekuasaan DPRD terhadap Kepala Daerah terasa sangat lemah yang
pada gilirannya mempengaruhi pelaksanaan fungsi dan peran legislatifnya. Pada
periode 1960-1967 , DPRD Jawa Barat dikomandoi oleh Letjen. TNI.H.
Mashudi dan selanjutnya pada periode 1967-1971 DPRD Jawa Barat diketuai oleh
Rachmat Sulaeman dengan jumlah anggota DPRD 70 orang yang berasal dari 8
Parpol.
Seiring dengan dikeluarkannya UU No. 5/1974, terjadi
juga perubahan dalam kedudukan DPRD. Ketentuan hukum yang terdapat dalam UU ini
menyatakan, bahwa Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD. Penafsiran
terhadap statement ini adalah DPRD dan Kepala Daerah dalam kedudukan yang sama
tinggi. Yang membedakannya adalah bahwa Kepala Daerah merupakan pelaksana
dari peraturan perundangan di daerah sedangkan DPRD melaksanakan tugas di
bidang legislatif. Periode 1971-1977 DPRD Tingkat I Provinsi Jawa Barat ,
kembali dipimpin oleh Rahmat Sulaeman dengan anggota berjumlah 74 orang dari 4
Fraksi.
Selanjutnya, berturut-turut dalam era kepemimpinan Presiden
Soeharto, pada tahun 1977-1982 DPRD Jawa Barat diketuai oleh Brigjen TNI (Purn)
H. Adjat Sudradjat, Mayjen TNI (Purn) Suratman (1982-1992), Brigjen TNI (Purn)
H. Agus Muhyidin (1992-1997). Pada masa ini seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk Jawa Barat, maka jumlah anggota legislative pun mengalami peningkatan
menjadi 100 orang anggota.
Pada tahun 1997 terjadi gerakan reformasi yang pada akhirnya
meruntuhkan kepemimpinan Orde Baru. Hal ini berpengaruh terhadap masa kerja
DPRD provinsi Jawa Barat yang hanya berlangsung selama
tiga tahun, karena pada tahun 1998 sebagaimana tuntutan reformasi
dilaksanakan Pemilu, dipimpin oleh Mayjen TNI (Purn) H. Abdul Nurhaman, S.Ip,
S.Sos.
Lahirnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 sebagai reaksi dari gerakan reformasi, merangkum dua pikiran utama yakni penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan dosmetik kepada daerah (kecuali keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan dan keagamaan) serta penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan Kepala Daerah. Pemberdayaan fungsi-fungsi DPRD dalam bidang legislasi, representasi, dan penyalur aspirasi masyarakat harus dilakukan. Kebijakan desentralisasi merupakan bagian dari kebijakan demokratisasi pemerintahan. Karena itu penguatan peran DPRD baik dalam proses legislasi maupun pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah perlu dilakukan. Dalam UU 22/1999 ditentukan posisi DPRD sejajar dengan pemerintah daerah, bukan sebagai bagian dari pemerintah daerah.
Lahirnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 sebagai reaksi dari gerakan reformasi, merangkum dua pikiran utama yakni penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan dosmetik kepada daerah (kecuali keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan dan keagamaan) serta penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan Kepala Daerah. Pemberdayaan fungsi-fungsi DPRD dalam bidang legislasi, representasi, dan penyalur aspirasi masyarakat harus dilakukan. Kebijakan desentralisasi merupakan bagian dari kebijakan demokratisasi pemerintahan. Karena itu penguatan peran DPRD baik dalam proses legislasi maupun pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah perlu dilakukan. Dalam UU 22/1999 ditentukan posisi DPRD sejajar dengan pemerintah daerah, bukan sebagai bagian dari pemerintah daerah.
Pada periode
1999-2004 , DPRD Provinsi Jawa Barat sesuai kewenangannya memlih Kepala Daerah,
memilih anggota MPR dari utusan daerah, mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian Kepala daerah dan hak DPRD meminta pertanggungjawaban Kepala
daerah. Kepemimpinan DPRD pada periode ini dipimpin oleh Ir. H. Idin Rafiudin
(dalam perjalanan kepemimpinannya beliau wafat) yang selanjunya
digantikan oleh Drs.H. Eka Santosa.
Sejalan
dengan perkembangan demokrasi, dan perbaikan kehidupan ketatanegaraan,
Pemerintah mengeluarkan UU No. 32 tahun 2004. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
didefinisikan sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai
unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selanjutnya, dalam hubungannya
dengan eksekutif, pasal 3 menyebutkan bahwa pemerintah daerah terdiri atas
pemerintah dan DPRD. Hal itu berarti DPRD berkedudukan sejajar dan menjadi
mitra dari pemerintah daerah.
Pemilu tahun
2004 diikuti oleh 24 Partai Politik, dan yang berhasil meraih kursi di DPRD
Provinsi Jawa Barat 10 Parpol yakni Golkar, PDI-P, PKS,PPP, Demokrat, PKB, PAN,
PBB, PKPB, PDS, yang selanjutnya menjadi 7 fraksi. DPRD Provinsi Jawa Barat
Periode 2004 - 2009 diketuai oleh Drs.H.A.M. Ruslan (Golkar), dengan para wakil
ketua H. Rudi Harsatanaya (PDI-P), drh. Achmad Ru’yat, M.Sc. (PKS, setelah
diambil sumpahnya menjadi wakil walikota Bogor, digantikan oleh H. Husin M.
Albanjari, Dipl.Ing.) dan H. Amin Suparmin,S.Hi. (PPP).
Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi
Jawa Barat periode 2009-2014 keanggotaannya diresmikan berdasarkan Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 161.32 - 556 Tahun 2009, pada tanggal 31
Agustus 2009 dalam Rapat Paripurna Istimewa Pengambilan Sumpah/Janji
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Hasil Pemilu 2009 bertempat di Gedung
Merdeka Bandung. Mereka berasal dari 9 partai dengan jumlah 100 anggota
yakni : Partai Demokrat 28 orang, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 17
orang, Partai Golongan Karya 16 orang, Partai Keadilan Sejahtera 13 orang,
Partai Gerakan Indonesia Raya 8 orang, Partai Persatuan Pembangunan 8 orang,
Partai Amanat Nasional 5 orang, Partai Hati Nurani Rakyat 3 orang dan Partai
Kebangkitan Bangsa 2 orang. Tergabung dalam 8 Fraksi yakni F. Demokrat,
F.PDI-P, F. Golkar, F. PKS, F. Gerindra, F. PPP, F. PAN, F.Hanura- PKB. Dalam
Rapat Paripurna Istimewa tersebut, ditetapkan Pimpinan Sementara DPRD Propinsi
Jawa Barat, yang berasal dari dua partai peraih kursi terbesar,
masing-masing H. Awing Asmawi, SE (Partai Demokrat) sebagai Ketua Sementara dan
Drs. H. Syarif Bastaman (PDIP) sebagai Wakil Ketua Sementara.
Selanjutnya
pada tanggal 16 Oktober 2009, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
: 161.32-712 Tahun 2009 Pimpinan DPRD Provinsi Jawa Barat mengucapkan
sumpah/janji dalam Rapat Paripurna Istimewa dengan susunan sebagai berikut :
Ketua DPRD Ir.H. Irfan Suryanagara (F. Partai Demokrat), Wakil Ketua : H.M Rudi
Harsa Tanaya (F. PDIP), Drs.H.Uu Rukmana M.Si. (F. Partai Golkar), Drs.H. Nur
Suprianto, MM (FPKS) dan H. Komarudin Taher, S.Ag. (FPPP).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar